Politik dan Sabung Ayam
Sabung ayam merupakan kegiatan yang dapat dikatakan sebagai hiburan oleh sebagian kalangan masyarakat yang hobi untuk itu, tetapi juga sebagai kesempatan untuk berjudi. Dalam kegiatan sabung ayam ini, ayam-ayam jago yang memiliki kualitas berkelahi yang tangguh diadu dalam arena yang dipagari. Ayam jago diadu untuk mematikan atau mengalahkan ayam jago yang lainnya. Ayam jago berusaha untuk mematikan lawannya dengan sebilah pisau kecil yang diikat pada tajinya.
Sutan Syahrir, tokoh sosialis radikal dan juga Perdana Menteri RI di zaman Orde Lama dalam sistem Kabinet Parlementer pernah berkata, “Politik bukanlah sekadar perhitungan, melainkan bertindak etis, berbuat, dan bersikap moral tinggi. Para pemimpin harus menjadi pahlawan laksana para nabi.”
Politik, khususnya dalam kontestasi pemilihan presiden, telah diwarnai hitung-hitungan melalui mekanisme survei popularitas, akseptabilitas, dan elektabilitas. Praktik politik masa kini hampir pasti tidak bisa dimenangkan tanpa digerakkan dengan uang, dan uang itu juga harus didayagunakan dan diperlakukan seperti halnya memainkan dadu di atas meja judi. Harus berani mengambil keputusan berdasarkan hitung-hitungan spekulatif.
Rakyat tertipu dalam buaian para politisi. Rakyat begitu sulit bersatu untuk memperjuangkan kepentingannya. Namun, di sisi lain rakyat begitu mudah dipersatukan melalui event politik demi kepentingan para politisi. Rakyat semakin mudah dibentuk dalam politik kepentingan, juga mudah saling berbenturan di antara mereka sendiri demi memenuhi kehendak patron politiknya. Rakyat terkotak berdasarkan partai pendukung dan juga figur atau politisi.
Politik dalam pandangan masyarakat akar rumput bagaikan kegiatan sabung ayam. Dan, masyarakat menikmati dunia percaturan politik seperti mereka menikmati ayam jago di dalam arena sabung ayam. Ayam jago ibaratkan kandidat yang bertarung di arena politik. Dan, masyarakat pun telanjur menikmatinya. Menunggu ada yang keok, lalu bersorak, bahkan mengejek. Hasrat ejek-mengejek inilah yang kini menguasai psikologi politik kita, mencari kepuasan dalam kedunguan lawan.
Duel politik tak lagi bermutu. Gagasan dihapus oleh hiruk-pikuk ejekan. Sensasi dirayakan, esensi diabaikan. Rasa gagah memenuhi dada ketika ejekan disambut gempita oleh sesama pendukung. Sahut-menyahut di ruang sosial melambungkan kebanggaan kubu. Semacam ketagihan massal, ejekan menjadi obat perangsang politik. Ini adalah gambaran demokrasi bangsa Indonesia di era Reformasi. Hal ini tidak dapat dipungkiri.